Manusia
adalah khalifah di bumi. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dan
yang paling tinggi derajatnya. Apakah artinya predikat “paling indah” dan
“paling tinggi” itu?
Hakikat
keindahan artinya rasa senang dan bahagia. Dengan demikian, predikat paling
indah untuk manusia dapat diartikan bahwa tiada sesuatu pun ciptaan Tuhan yang
menyamai keberadaan manusia yang mampu mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan
di mana pun dan pada saat apa pun, baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi
makhluk lain. [1]
Predikat paling tinggi mengisyaratkan bahwa tidak ada makhluk lain yang dapat
mengatasi dan mengalahkan manusia. [2]
Hakikat
manusia sebagai makhluk paling indah dan paling tinggi derajatnya mendorong
manusia untuk terus maju dan berkembang tanpa henti dari aman ke zaman. Menurut
sejarah, kemajuan dan perkembangan manusai itu ternyata tidak selalu mulus dan
setia saat membawa kesenangan dan kebahagiaan. Perang dan persengketaan
antarkelompok manusia bahkan sering terjadi yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan bagi kelompok-kelompok manusia yang bersangkutan. [3]
Sebagai
makhluk hidup, manusia selalu membutuhkan energy untuk mempertahankan hidupnya,
untuk mengembangkan keturunan, untuk tumbuh, dan untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya. Dalam psikologi, pakar-pakar yang mementingkan factor energi
antara lain adalah Sigmund Freud (energy untuk mendorong libido seksual), Carl
Gustav Jung (energy sebagai peggerak libido non-seksual), Kurt Lewin (energy
bergerak dari satu region kognitif ke region kognitif lainnya), dan Abraham
Maslow (energy dari kebutuhan fisiologik diperlukan untuk mendorong tumbuhnya
kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi). [4]
Setiap
individu manusia adalah unik. Maksudnya, setiap manusia selalu mempunyai
ciri-ciri dan sifat-sifat tersendiri yang membedakannya dari manusia-manusia
lainnya. Tidak ada dua manusia yang sama di dunia ini, bahkan anak kembar
sekalipun memiliki keunikannya masing-masing.[5]
Karena semua individu berbeda, tidak dapat diharapkan bahwa dua orang tertentu
akan berekasi dengan cara yang sama terhadap rangsangn yang sama. Anak-anak
penakut tidak sama reaksinya dengan anak-anak yang agresif, dan mereka yang
tenang dan santai tidak merasa terganggu dengan kepindahan keluarga
dibandingkan dengan mereka yang pemalu dan peka.[6]
Tiap-tiap
individu yang memiliki keunikan tersendiri juga tidak lepas dari perkembangan
dan pertumbuhan yang dilalui oleh masing-masing individu. Manusia tidak pernah
statis, semenjak pembuahan hingga akhir hayatnya selalu terjadi perubahan, baik
dalam kemampuan fisik maupun kemampuan psikologis. Berdasarkan penjelasan
Piaget, organisme yang matang selalu mengalami pembuahan yang progresif sebagai
tanggapan terhadap kondisi yang bersifat pengalaman dan perubahan-perubahan itu
mengakibatkan jaringan interaksi yang majemuk.[7]
Pertumbuhan
manusia sejak dalam kandungan sudah ditentukan polanya, dan tiap-tiap sel tubuh
berkembang sesuai dengan jalur perkembangannya masing-masing. Semuanya mengarah
pada satu tujuan untuk menjadi manusia dengan organ-organ yang tersusun secara
harmonis.[8]
Selain itu, setiap manusia pasti ingin menjadi manusia seutuhnya. Manusia
seutuhnya adalah mereka yang mampu menciptakan dan memperoleh kesenenangan dan
kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya berkat pengembangna
optimal segenap potensi yang ada pada dirinya, seiring dengan pengembangan
suasanan kebersamaan dengan lingkungan sosilanya sesuai dengan aturan dan
ketentuan yang berlaku. Di dalam masyarakat, gambaran manusia seutuhnya itu
sering ditampilkan melalui pengembangan paham-paham tertentu yang menjadi dasar
ataupun panutan bagi berbagai gerakan yang amat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan masyarakat, baik gerakan politik, sosial-budaya, keamanan, dan
gerakan-gerakan lainnya.[9]
Berbagai perubahan dalam perkembangan bertujuan untuk
memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup. Untuk
mencapai titik ini, maka realisasi diri atau yang biasanya disebut “aktualisasi
diri” adalah sangat penting. Realisasi diri memanikan peranan penting dalam
kesehtan jiwa, maka orang yang berhasil menyesuaikan diri dengan baik secara
pribadi dan sosial, harus mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan minat, dan
keinginannya dengan cara yang memuaskan dirinya. Kurangnya
kesempatan-kesempatan ini akan menimnulkan kekecewaan dan sikap-sikap negative
pada uumnya terhadap orang lain, dan terhadap kehidupan pada umumnya.[10] Namun tidak semua individu dapat
mengaktulisasikan dirinya dengan baik, mereka yang memiliki sifat pemalu
terkadang merasa kesulitan untuk dapat mengekspresikan dirinya. Tapi
sebaliknya, orang yang ekspresif dan berani mengemukakan pendapatnya akan lebih
mudah mengaktualisasi dirinya. Karena semua individu berbeda, tidak dapat
diharapkan bahwa dua orang tertentu akan bereaksi dengan cara yang sama
terhadap rangsangan yang sama.[11]
Dalam mempelajari perkembangan manusia, kita harus
membedakan dua hal, yaitu proses pematangan dan proses belajar. Pematangan,
berarti proses pertumbuhan yang menyangkut penyempurnaan fungsi-fungsi tubuh
secara alamiah sehingga mengakibatkan perubahan-prubahan dalam perilaku,
terlepas dari ada atau tidaknya proses belajar. Sedangkan belajar, berarti
mengubah atau memperbaiki perilaku melalui lstihsn, pengalaman atau kontak
dengan lingkungan yang disebabkan melalui latihan dan pengalaman serta relative tidak berubah.[12]
Jika manusia dapat melalui proses pematangan dan pembelajaran, maka manusia itu
bisa disebut sebagai manusia seutuhnya. Yaitu, Manusia yang mampu menciptakan
dan memperoleh kesenenangan dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi
lingkungannya berkat pengembangna optimal segenap potensi yang ada pada
dirinya, seiring dengan pengembangan suasanan kebersamaan dengan lingkungan
sosilanya sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.[13]
Manusia
dituntut untuk mampu memperkembangkan dan menyesuaikan diri terhadap
masyarakat, dan untuk itu memang manusia telah dilegkapi dengan berbagai
potensi, baik potensi yang berkenaan dengan keindahan dan ketinggian derajat
kemanusiaanya. Potensi-potensi yang ada pada diri mereka tidak dapat berkembang
secara optimal mereka yang berbakat tidak dapat mengembangkan bakatnya, mereka
yang berkecerdasan tinggi kurang mendapatkan rangsangan dan fasilitas
pendidikan sehingga bakat dan kecerdasan yang merupakan karunia Tuhan yang
tidak ternilai harganya itu menjadi terbuang sia-sia.[14]
Nama
: Hidayatul Fadilah
Kelas
: 2B
Nim
: 1601015022
[1] Prayitno dan Erman Amti, 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling,
Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 9
[2] Ibid, hlm. 10
[3] Ibid, hlm. 11
[4] Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, Rajawali Pers:
Jakarta, hlm. 46
[5] Ibid, hlm. 54
[6] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Penerbit
Erlangga: Jakarta, hlm. 7
[7] Ibid. hlm. 3
[8] Sarlito w. Sarwono, Op.Cit.,
hlm. 47
[9] Prayitno dan Erman Amti, Op.Cit.,
hlm. 20
[10] Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit.,
hlm. 3
[11] Elizabeth B. Harlock, Loc.Cit
[12] Sarlito w. Sarwono, Op.Cit.,
hlm. 56
[13] Prayitno dan Erman Amti, Loc.Cit
[14] Prayitno dan Erman Amti,
Op.Cit., hlm. 25